Mengulik Fenomena "Flexing": Implikasi Moral dan Dampaknya terhadap Reputasi

PRINDONESIA.CO | Senin, 03/07/2023
Aksi flexing yang kali ini menjadi sorotan publik, datangnya bukan dari kalangan selebritas atau influencer, melainkan para pejabat berikut keluarganya.
Dok. Freepik.com

Fenomena flexing di kalangan pejabat mencerminkan ketiadaan integritas serta gagalnya fungsi manajemen, termasuk komunikasi. Khususnya, dalam memitigasi hingga mendeteksi pamer harta sebagai perilaku berisiko tinggi yang mampu merusak reputasi organisasi.

Istilah flexing atau pamer kekayaan kembali mencuat semenjak adanya media sosial. Berbagai fitur di media sosial memudahkan setiap penggunanya untuk berbagi banyak hal. Mulai dari informasi, ide, berekspresi, hingga menunjukkan status sosial dan ekonominya.

Biasanya, para influencer menggunakan media sosial sebagai ruang untuk memengaruhi keputusan pembelian para pengikutnya berdasarkan reputasi atau citra yang mereka bentuk. Alhasil, oleh warganet kelihatan seperti pamer. Aksi ini makin marak sejak film berjudul Crazy Rich Asians—film yang menceritakan anak konglomerat asal Singapura—ramai menjadi perbincangan (baca: warga Indonesia). Tiba-tiba muncul tren pemberian label crazy rich kepada orang-orang yang sering tampak pamer harta atau “terlihat” kaya di media sosial. Sebut saja, Crazy Rich Surabaya, Medan, sampai Tanjung Priok.