Beragam cara dilakukan perusahaan untuk dapat menarik target audiensnya terhadap produk yang mereka tawarkan. Siapa yang menduga, public relation (PR), sebagai pihak yang lebih dekat dengan konsumen, memiliki peran sangat penting untuk mencapai tujuan tersebut. Terutama, dalam hal pembuatan rilis.
SEMARANG, PRINDONESIA.CO - Hasil riset Kumparan.com menunjukkan masyarakat lebih banyak menyukai konten emosional. Konten ini dinilai mampu memengaruhi masyarakat untuk berempati atas keadaan di sekitarnya. “Masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai konten yang menguras emosi daripada konten dengan basis data yang kuat,” kata Wakil Pemimpin Redaksi Kumparan.com Rachmadin Ismail di hadapan ratusan peserta plenary session Jambore PR Indonesia (JAMPIRO) #4 di Hotel Aston Semarang, Rabu (7/11/18).
Strategi komunikasi inilah yang kemudian kerap digunakan para praktisi PR untuk mencapai misinya. “Jika biasanya rilis yang dibuat menggunakan bahasa yang cenderung kaku, misalnya, kini lebih menyentuh emosional,” ujarnya. Dengan cara ini, ia yakin perusahaan dapat lebih mudah mendapat empati dari audiens mereka.
Pertanyaan kemudian muncul, apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam membuat konten emosional? Rachmadin memberikan kiat agar para praktisi PR mempertimbangkan nilai (value) sebuah produk yang akan dipasarkan. Misalnya, menunjukkan value dari produk sepatu dengan ukuran kaki beda sebelah. Sebab, menurut Rachmadin, banyak orang yang ukuran kakinya berbeda. “Nanti aksinya mereka akan beli. Atau, bisa jadi mereka akan datang ke toko untuk mencoba," jelas pria yang sudah sepuluh tahun berkecimpung dalam dunia jurnalistik itu.
Cara yang pernah dilakukan Kumparan.com pun dapat menjadi contoh. Ketika itu, mereka mengangkat profil seorang pengemudi ojek berbasis daring. Secara kasat mata, pengemudi tersebut tidak tampak berbeda dengan pengemudi ojek on-line lainnya. Namun, setelah ditelusuri, pengemudi tersebut menggunakan hasil pendapatannya untuk membiayai 126 santrinya.
Dari sinilah, media daring yang berdiri sejak 2016 tersebut dapat menyajikan konten emosional yang disukai pembaca. Respons dan empati dari para warganet bermunculan via kolom komentar. “Di luar dugaan. Ada yang tergerak untuk menyumbang, bahkan membuat gerakan untuk membantu si narasumber. Padahal, kami tidak pernah meminta donasi,” tutupnya. (fik)
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi