Tiga Faktor Keberhasilan PR Membangun Pola Komunikasi

PRINDONESIA.CO | Selasa, 13/11/2018 | 4.013
Semakin besar perusahaan, tentu akan ada banyak isu lintas sektor yang akan memengaruhinya
Isqi/PR INDONESIA

Baik atau tidaknya pola komunikasi yang dibangun oleh praktisi public relations (PR), dipengaruhi oleh berbagai faktor. Di antaranya, faktor peraturan dan perundang-undangan, faktor sosial dan politik, serta isu spesifik dan lokal yang berbeda.

SEMARANG, PRINDONESIA.CO – Presiden Komisaris Kiroyan Partners Noke Kiroyan membedah ketiga faktor penentu keberhasilan praktisi PR tersebut dalam plenary session, di Semarang, Rabu, (07/11/2018). Sesi tersebut merupakan pembuka rangkaian acara jelang pemberian apresiasi bagi para insan PR se-tanah air, Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #4.

Dalam hal regulasi dan perundang-undangan, kata Noke, setiap perusahaan memiliki undang-undang di sektor masing-masing. Misalnya, dalam bidang pertambangan, perikanan, dan lainnya. “Begitu juga perusahaan industri, ada aturan yang mengharuskan menjalankan bisnis di wilayah tertentu,” tuturnya.

Dinamika ekonomi, sosial dan politik pun turut menentukan cara perusahaan berkomunikasi dan memilih konten yang relevan. “Faktor politik memengaruhi cara perusahaan berkomunikasi terhadap konten komunikasi itu sendiri. Semakin besar perusahaan, tentu akan ada banyak isu lintas sektor yang akan mempengaruhinya,” kata Noke. Contoh, ada perjanjian dagang antara Indonesia dengan Australia serta Uni Eropa yang semuanya berpengaruh dalam perjalanan bisnis.

Perusahaan juga akan berhadapan dengan isu-isu publik yang berkembang di masyarakat. Dampaknya, imbuh Noke, isu itu akan memengaruhi citra dan reputasi korporasi. Maka dari itu, imbaunya, perusahaan harus selalu siap menghadapi isu-isu tersebut. Terlebih, jika isu tersebut menjurus pada satu permasalahan spesifik.

Seperti saat masyarakat melihat kejadian yang menimpa Lion Air. Noke mengamati, publik umumnya menilai perusahaan penerbangan tidak mengomunikasikan perihal jatuhnya pesawat dengan baik. Akhirnya, timbul kegaduhan dan kepanikan. Sebaiknya, perusahaan sudah siap menghadapi dan menangani isu yang berkembang di masyarakat. “Setiap industri memiliki risiko, isu bisa timbul kapan saja. Jadi, mereka harus siap dan sudah tahu potensi isunya. Kesalahan besar jika PR tidak siap menghadapi isu yang akan terjadi,” katanya, tegas.

 

Isu Lokal

Isu tidak hanya secara spesifik mengarah pada permasalahan tertentu, namun juga menyesuaikan dengan wilayah geografis. Noke menyebutnya sebagai isu lokal. “Isu lokal di daerah Semarang berbeda dengan Surabaya. Begitu pula dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia,” katanya.

Dalam mengelola isu, lanjut Noke, perusahaan harus selalu mengetahui perkembangan isu terkini di tengah masyarakat. Informasi itu dapat dideteksi atau dilihat melalui berita yang beredar di media massa dan media sosial. “Jika terdeteksi berita negatif, maka PR segera melakukan antisipasi,” ujarnya.

Kesimpulannya, kata Noke, perusahaan harus memperhitungkan faktor, politik, sosial, dan wilayah geografis. Dengan mengetahui hal itu, praktisi PR akan lebih mudah memperoleh dukungan masyarakat dan mengupayakan komunikasi yang lebih bersifat strategis. (bel)