Komunikasi Vaksinasi: Vaksinasi Butuh Empati Komunikasi

PRINDONESIA.CO | Selasa, 16/03/2021 | 1.412
Menurut Firsan, ada dua kegagalan komunikasi publik yang menjadi sorotannya selama pandemi. Pertama, imbauan jangan mudik. Kedua, peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dok.Istimewa

Komunikasi publik terkait pandemi COVID-19 sudah berlangsung sejak Maret 2020. Namun, komunikasi ini masih sebatas tataran output. Sehingga, belum mengubah perilaku masyarakat.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Inilah yang harus menjadi catatan ketika akan membangun komunikasi publik guna menyukseskan, merangkul partisipasi, dan dukungan publik terhadap program nasional vaksinasi COVID-19. Menurut Managing Director Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication Firsan Nova, komunikasi merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari strategi. Komunikasi merupakan bagian dari progress. Firsan memberikan contoh. “Ketika kita punya kedai kopi, bagian terpenting bukan hanya kopinya, namun juga strategi komunikasinya,” ujarnya kepada PR INDONESIA via telepon, Jumat (8/1/2021).  

Nah, jika komunikasi tidak strategis, maka yang dihasilkan hanya sebatas output. Berdasarkan pengamatannya, saat ini upaya-upaya komunikasi yang dilakukan pemerintah sudah menyeluruh. Bahkan, hingga masuk ke layar smartphone dengan menyebarkan pesan berisi imbauan, salah satunya disiplin memakai masker. “Dari sini kita mengetahui bahwa komunikasi sudah sampai ke semua orang,” ujar Firsan. Inilah yang disebut output.

Namun, upaya komunikasi yang telah dilakukan sejatinya harus sampai memberikan outcome. “Komunikasi strategis harus sampai pada tahap outcome, yakni perubahan perilaku masyarakat,” katanya. Bukti bahwa strategi komunikasi baru sampai tahap output adalah dengan semakin meningkatnya kasus positif di Indonesia.