Hoaks telah berkembang jauh sebelum abad ke-16. Memasuki abad ke-20, hoaks makin cepat menyebar lewat media elektronik. Kini, di era digitalisasi, perkembangannya semakin tak terbendung.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Werme (2016) dalam Ireton, C & Julie Posetti, Jurnalism, Fake News & Disinformation: Handbook for Jurnalism Education and Training, hoaks merupakan berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu.
Selain misleading, hoaks juga menyesatkan karena tidak memiliki landasan faktual. Tetapi, disebarkan seolah-olah informasi yang disebar berupa fakta. Mengutip dari Antara, 6 Januari 2016, hoaks berasal dari kata hocus atau mantra “hocus pocus”. Frasa ini kerap digunakan pesulap dalam trik sulapnya.
Jauh sebelum sejarah Barat menjelaskan asal usul hoaks, sejarawan Islam Ibnu Khaldun ternyata telah membahas hal yang sama ratusan tahun sebelumnya. Mengutip dari Kumparan.com, Ibnu Khaldun menganggap untruth, falsehood, dan kebohongan sebagai hal yang tak bisa dihindari. Hoaks menjadi salah satu bagian sejarah yang tertuang dalam karyanya berjudul Prolegonema atau dikenal dengan Muqaddimah.
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi