Pembelajar Ulung

PRINDONESIA.CO | Jumat, 23/04/2021 | 2.190
Pemimpin yang senantiasa belajar dari kesalahan, pada akhirnya bakal dicintai warga, anggota, atau rakyatnya. Karena ia sadar, sekaligus mendengar.
Dok.Istimewa

Pemimpin itu harus mau dan terus belajar. Agar ia selalu relevan di mata publik di segala lintasan zaman. Pemimpin yang enggan belajar, maka ia akan tertatih-tatih membaca kehendak orang-orang yang dipimpinnya.

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Sejak berabad-abad lamanya, belajar dari sebuah kesalahan adalah salah satu metode terbaik untuk memperbaiki perilaku, tindakan, perbuatan, hingga kebijakan di masa datang. Bahkan, proses ini juga menjadi metode paling murah. Tidak perlu sekolah, atau membeli diktat-diktat setumpuk, agar lulus mempelajarinya.

Belajar dari kesalahan juga adalah sebuah sikap mental unggul seseorang. Belum tentu setiap orang mau belajar dari kesalahan yang terjadi. Yang ia alami. Teramat banyak pengalaman menunjukkan, belajar dari kesalahan membutuhkan sikap ikhlas. Kemauan kuat untuk mengakui kesalahannya. Sikap mental seperti ini sungguh penting dimiliki siapapun, terutama bagi mereka yang menjadi pemimpin. Sebab, pemimpin adalah pusat dari segala perhatian siapapun yang ada di sekitarnya. Anak buah, kolega, mitra, dan seterusnya.

Pemimpin besar, adalah pemimpin yang sudi belajar dari setiap kesalahan-kesalahan tersebut. Semakin lebih baik, jika disertai permintaan maaf untuk tidak mengulangi kesalahan, lalu menunjukkan tindakan-tindakan positif guna memperbaikinya. Kebijakan yang salah, misalnya. Pemimpin tak perlu malu mengakui jika ada kebijakan yang pernah ia putuskan ternyata salah. Yang penting, ada kesadaran untuk memperbaikinya. Inilai esensi belajar sang pemimpin.

Proses belajar akan berlangsung terus-menerus bagi sang pemimpin selama masa kepemimpinannya. Kata dan tindakan pemimpin tidak selalu benar. Pemimpin bisa salah, karena ia manusia. Yang penting, pemimpin paham apa kesalahannya dan mengelola upaya perbaikan itu dengan sekuat tenaga. Termasuk memastikan bahwa kesalahan yang terjadi, bukan upaya untuk mengambil keuntungan pribadi dan menafikan publik.

Ada banyak pemimpin yang alpa, bahwa kesalahan-kesalahan yang sering terjadi adalah sebuah hal biasa. Bukan sebuah pembelajaran. Jelas ini keliru. Sampai kapanpun, memang, pemimpin –sebagai manusia biasa—tetap berpeluang berbuat salah. Belajar dari kesalahan, dengan begitu, menjadi instrumen penting untuk membangun simpati dari publik, bahwa pertanggungjawaban sosial atas sebuah kesalahan pemimpin sedang atau bahkan telah dilakukan.

 

Sebenar-benarnya Manusia

Caranya? Memastikan ke publik, sedang atau telah dilakukan tindakan-tindakan terukur untuk mengatasi setiap kesalahan yang terjadi. Proses ini bakal memakan waktu tidak sedikit. Namun sungguh lebih elok dan empatik, ketimbang dilewati atau diabaikan, sehingga kesalahan-kesalahan sang pemimpin, terutama dalam menelorkan kebijakan, dianggap sebuah hal lumrah belaka.

Pemimpin yang senantiasa belajar dari kesalahan, pada akhirnya bakal dicintai warga, anggota, atau rakyatnya. Karena ia sadar, sekaligus mendengar. Sebab ia mamahami, sekaligus melihat kehendak publik yang ingin sang pemimpin bertindak benar, membawa publik mencapai tujuan utama: kesejahteraan bersama.

Menjadi pembelajar ulung bukanlah hal sulit. Hanya butuh kerendahan dan ketulusan hati sang pemimpin, bahwa dirinya adalah makhluk Tuhan yang punya banyak potensi untuk melakukan kesalahan. Hanya dengan belajar dari kesalahan dan kemudian memperbaikinya, maka pemimpin itu adalah sebenar-benarnya manusia. Tabik! (Asmono Wikan)