Pada dasarnya, tidak ada manusia yang menyukai komunikasi yang arogan dan tidak bersifat humanis. Sebaliknya, komunikasi yang dikemas dengan cara-cara relevan sesuai target audiens akan mendapatkan respons positif. Salah satunya, melalui komunikasi empatik.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Direktur Komunikasi Danone Indonesia Arif Mujahidin, komunikasi akan diterima oleh publik jika bersifat tenang, relevan dengan konteks, dan mampu melahirkan simpati. “Dalam berkomunikasi, sikap arogansi menjadi sesuatu yang pantang dilakukan. Sebab, perilaku kita tercermin dari cara kita berkomunikasi,” ujar Arif seperti dikutip dari buku Energi Kebaikan dan Komunikasi Empatik.
Sejatinya, setiap organisasi baik korporasi swasta maupun pemerintah ingin dianggap ramah, simpatik, dan memiliki empati terhadap lingkungan sekitarnya. Tak terkecuali oleh konsumen mereka. Arif mengakui upaya ini bukan perkara mudah. Sedikit saja terdapat kesenjangan antara pernyataan yang disampaikan oleh PR dengan fakta yang terjadi di lapangan, maka komunikasi akan menjadi sia-sia.
Untuk itu, sebelum berkomunikasi, PR harus mau mendengarkan, merencanakannya dengan baik, bahkan melakukan simulasi jika diperlukan. Tak kalah penting, pada saat pelaksanaan komunikasi, pastikan PR selalu memantau, dan mengakhirinya dengan evaluasi. “Komunikasi itu dilakukan dari hulu ke hilir,” ujarnya.
- BERITA TERKAIT
- Mengintip Gaya Komunikasi Publik Pemerintahan Prabowo – Gibran
- Komunikasi Publik Era Jokowi: Gaya Berbeda dengan Banyak Catatan
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"