Bagi pelaku industri asuransi, prioritas utama dalam melakukan literasi keuangan adalah mengubah mindset atau pola pikir. Sebab, hingga saat ini masyarakat belum menjadikan asuransi sebagai kebutuhan. Padahal asuransi dapat melindungi tabungan dan investasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Kepala Departemen Komunikasi Indonesia Financial Group (IFG) I Gede Suhendra, ada beberapa faktor yang membuat literasi asuransi di tanah air lebih rendah daripada perbankan. Apabila dilihat dari usia, industri perbankan sudah jauh lebih dulu ada dibandingkan asuransi. Instrumen tabungan pun sudah diperkenalkan sejak dini. “Dulu, kita mengenal ada yang namanya Tabanas,” ujarnya saat diwawancarai PR INDONESIA di Jakarta, Jumat (24/9/2021).
Berbeda dengan instrumen asuransi, literasi keuangan terkait asuransi belum diperkenalkan sejak dini kepada masyarakat. Sehingga, masyarakat hingga saat ini belum memandang asuransi sebagai kebutuhan. Oleh karenanya, perlu keberadaan agen yang berfungsi memberikan edukasi sekaligus melakukan penawaran. Jarang sekali ada masyarakat yang datang ke kantor asuransi untuk membuka polis asuransi, layaknya pergi ke bank untuk membuka rekening.
Padahal melakukan investasi dan membeli produk asuransi adalah bentuk lain dari menabung (saving). “Kalau ditarik benang merah sebenarnya sama. Yaitu, dalam rangka mengantisipasi hari esok yang penuh ketidakpastian,” kata pria yang karib disapa Hendra ini. Bedanya, manfaat proteksi atau asuransi secara utuh sudah bisa langsung dirasakan oleh nasabah yang baru bergabung sekalipun. Lain halnya dengan produk tabungan biasa.
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi