PR MEETUP #26: Lebih Jauh tentang DEI

PRINDONESIA.CO | Senin, 11/04/2022 | 10.000
Semua praktik DEI memerlukan peran komunikasi. Sebab, DEI seharusnya tidak berdiri sebagai sebuah kegiatan yang sporadis. Sebaliknya, menjadi sesuatu yang berkelanjutan.
Dok.Istimewa

Bicara mengenai tren public relations (PR) ke depan, banyak pakar komunikasi menyinggung tentang pentingnya korporasi mengomunikasikan diversity, equity, dan inclusion (DEI). Apa itu?

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Menurut Dyah Indrapati, DEI expert, pada dasarnya implementasi DEI bukan sesuatu yang baru di dalam organisasi di Indonesia. Terbukti dengan sudah adanya adanya undang-undang yang mengatur ketiga aspek tersebut sejak tahun ’70-an, meski tidak dijabarkan secara persis. Selengkapnya dijabarkan di bawah ini.

“Diversity”

Diversity atau keberagaman dalam sebuah organisasi tercermin dari keberagaman orang yang di dalam organisasi tersebut.  Mulai dari ras, etnis, jenis kelamin, kemampuan/kualitas fisik, usia, sampai orientasi/identitas seksual.

Namun, seiring berjalannya waktu, isu keberagaman tadi dirasakan kurang cukup mewakili berbagai permasalahan yang ada. Sebut saja, latar belakang karier, pendidikan, status orang tua, pernikahan, ekonomi, sosial, cara berpikir, letak geografis, kemampuan berkomunikasi, penampilan, hingga kepercayaan.

Dengan kata lain, kata perempuan yang karib disapa Ibe itu saat mengisi PR MEET UP #26 bertajuk “DEI & ESG dalam Praktik di Indonesia: Perspektif PR dan Keberlanjutan Bisnis Korporasi”, Jumat (18/3/2022), semakin banyak suatu organisasi menampung keberagamaan, maka organisasi tersebut bisa dikatakan mendukung keberagaman.

“Dengan semakin banyak orang yang memiliki latar belakang beragam, semakin beragam pula pemikiran yang akan dihasilkan di dalam organisasi itu,” ujarnya. “Organisasi juga semakin mudah dalam memecahkan setiap persoalan. Sebab, mereka memiliki sumber ide yang cukup banyak,” imbuh perempuan yang  sudah mengantongi pengalaman lebih dari 15 tahun sebagai peneliti, fasilitator dan konsultan itu.

“Equity”

Equity kerap dimaknai sebagai keadilan atau kewajaran. “Intinya, equity adalah soal bagaimana kita bisa menimbulkan perasaan bahwa ini adalah sesuatu yang adil atau setara,” kata Dyah. Dengan kata lain, sebuah organisasi dikatakan mendukung equity apabila mampu memberikan akses kepada setiap orang untuk mendapatkan kesempatan yang sama.

“Inclusion”

Sementara inclusion atau inklusi adalah ketika setiap orang memiliki ownership serta menerima keberadaannya di dalam organisasi tersebut. “Semua suara didengar dan keputusan yang diambil bersifat menyeluruh serta adil untuk semua orang yang ada di dalam organisasi,” ujar Dyah.  

Menurutnya, semua praktik ini memerlukan peran komunikasi. Sebab, ia melanjutkan, DEI seharusnya tidak berdiri sebagai sebuah kegiatan yang sporadis. Sebaliknya, menjadi sesuatu yang berkelanjutan. “Hal ini dikarenakan DEI memiliki banyak manfaat tidak hanya bagi diri kita tetapi juga perusahaan sebagai sebuah institusi," ujar perempuan lulusan Universitas Indonesia dan School of Government and Public Policy - Indonesia itu. (ais)