Dalam melihat krisis, praktisi public relations (PR) tak cukup hanya melihat skala. Yang terpenting, kemampuan mengelola krisis untuk merespons, mengukur dampak, dan mencegah meluasnya kerusakan reputasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Sudah lebih dari satu bulan, tepatnya awal Juli 2022, perhatian publik tertuju pada kasus pembunuhan yang melibatkan inspektur jenderal polisi. Bahkan, beritanya meramaikan jagat media secara konstan tanpa henti. Berbagai tanya memenuhi benak publik, mulai dari kronologi pembunuhan, motif, hingga berbagai spekulasi yang bergulir. Belum juga usai, 20 Agustus 2022, publik kembali dikejutkan dengan operasi tangkap tangan oleh KPK yang melibatkan rektor Universitas Lampung (Unila) atas dugaan suap seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.
Kedua kasus ini mendapat sorotan khusus dari Wakil Rektor 3 Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Taufan Teguh Akbari, terutama dari kaca mata public relations (PR). Kepada PR INDONESIA, Senin (12/9/2022), ia mengatakan, kedua kasus itu tidak hanya menjadi preseden buruk bagi citra pemerintah dan perguruan tinggi. Tapi juga turut memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap kedua institusi. Dampak paling fatal adalah tidak berjalannya praktik good governance.
Ia memberi contoh. Meskipun hal tersebut dilakukan oleh oknum, namun Polri yang seharusnya menjadi teladan dinilai mengecewakan. Jika dibiarkan, lama-kelamaan masyarakat tidak hanya berkurang kepercayaannya, namun juga akan melanggar kepatuhan. Yang lebih parah, tidak ada lagi generasi muda yang berminat untuk bergabung atau menjadi bagian dari institusi tersebut.
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi